Tahun 2015, berjodoh dengan Biduk-Biduk atas informasi dari Adit temennya Hijrah untuk kuliah kerja nyata atau KKN. Beruntunglah bisa bergabung cuma modal ditanyain sama ketuanya apakah bisa ngerjain ini dan itu. Ternyata semua orang cukup kompetitif masuk kelompok ini, pakai tes dan wawancara bahkan ada yang nggak keterima. Terimakasih Ya Allah selalu memberiku hal-hal indah.
Okay, karena sebelumnya sudah dijelaskan bahwa listrik hanya akan ada pukul 6 sore sampai 6 pagi, ketersediaan air terbatas dan minim sinyal serta nggak akan tinggal di suatu rumah berserta perabotnya tetapi di pos PKK yang jelas tidak berkasur, karena pos tersebut digunakan untuk rapat, pelatihan dan kumpul-kumpul ibu PKK aja. Berbekal sleeping bag kualitas medium, nggak disangka badan sehat aja -kecuali pas lagi on my period- tidur gituan doang selama 2 bulan, ada dua pintu depan yang celahnya masih bisa buat liat siapa yang dateng kalopun kedua pintunya ditutup, jendela tanpa tralis dan ventilasi bolong padahal depannya bukan rumah tetangga tapi laut lepas tinggal nyebrang jalan aja. Sinyal yang katanya minim ternyata bukan minim lagi tapi nggak ada sama sekali. Beruntungnya punya tetangga dan penduduk yang peduli banget sampe dipinjemin bantal, karpet, kompor dan perabot dapur buat masak. Bahkan ada yang rela berbagi air dari saluran air yang ada dirumahnya ke pondokan kita, walau pernah beberapa hari nggak ngalir, bangun tidur mau pipis ke masjid dan mandi numpang tetangga lain. Beberapa hari juga pernah tanpa listrik, malem-malem banget nebeng charge beberapa hape dan laptop di masjid yang akhirnya genset masjid mati sampe nggak bisa tidur mikriin gimana besok adzan subuh bisa bunyi.
Tetapi hal indahnya masih lebih banyak dibandingkan dengan segala ke-minim-an yang kita dapet. See? Baru buka pintu aja udah begitu pemandangannya dan ketika sunrise kita bengong dulu liat pancaran sinar orange kaya gini. No filter.
Oh ya, berdasarkan pembagian dari total 28 orang, kami berenam tinggal di Teluk Sulaiman, bagian kampung dari Kecamatan Biduk-Biduk yang paling ujung karena letaknya memang terakhir di seluruh kampung yang ada di daratan Biduk-Biduk. Karena nggak ada sinyal sama sekali, penduduk selalu pergi ke dermaga yang mereka sebut "Ujung" karena lokasinya yang berada di paling ujung kampung sekitar 2 kilometer dari pondokan kami. Fungsi dermaga untuk tempat singgah kapal yang berkembang jadi destinasi wisata dan media penyebrangan menuju Teluk Sumbang. Sunset dan sunrise disini juga sama-sama menakjubkan :)
Hampir setiap hari dermaga kami kunjungi untuk sekedar telpon keluarga di rumah atau teman yang sama-sama lagi KKN. Ketika kami berkunjung ke kelompok di kampung lain, terbukti tempat kami dan Teluk Sumbang yang paling parah sinyalnya. Jadi, kami selalu memanfaatkan saat berkunjung untuk nelpon-nelpon, beli paket data yang sehari buat buka internet cari bahan materi program ataupun posting instagram haha. Seringnya diantara kami berenam cari-cari alasan mau ke kampung lain entah koordinasi program, ngerjain bareng sampe mau numpang nyuci karena nggak enak minta air ke tetangga yang sama-sama minimnya. Biasanya satu atau dua orang pergi yang lainnya ikut pergi haha. Pernah suatu hari belum lengkap, rasanya uring-uringan pengennya komplit semua dirumah kalo udah malem. Alat transportasi yang kami gunakan disana adalah 2 motor yang dipinjamkan oleh warga untuk kami berenam. Jadi, bonceng tiga selalu.
Penduduk disana juga menggunakan motor tanpa helm. Biasanya mereka gunakan hanya untuk mengantar anak ke sekolah, pergi ke dermaga ataupun ke kampung lain. Oh ya, jarak antar kampung itu lumayan jauh walaupun naik motor dan jalannya hanya lurus saja tidak ada belokan, karena rumah-rumah disana tidak banyak, polanya berderet sepanjang jalan dan hanya ada satu sampai 3 layer saja itupun tidak rapat. Kondisi jalan udah beraspal tapi masih di beberapa spot yang berlubang.
Uniknya, karena kami selalu bonceng tiga, salah satu dari yang bonceng harus selalu waspada kakinya bisa kena pup sapi. Yes! Disana, warganya punya sapi, karena dapat bantuan ternak dari pemerintah. Namun karena hewan itu hasil pemberian jadi banyak warga yang nggak bikin kandang dan dibirkan berkeliaran di mana aja termasuk di jalanan. Jadi pup dimana aja deh. Tapi hebatnya nggak ada yang hilang, jangankan sapi, kunci motor masih gantung aja tetep aman, sebolong-bolongnya pondokan kita pun damai sentosa padahal banyak barang elektronik kami yang tergeletak dimana aja. Sebagian besar penduduknya cari makan dari laut, ada yang bikin kapal, jual ikan, buka warung dan kerja di kantor kampung jadi PNS. Kalau bahan untuk masak ada yang keliling pakai motor jualan sayur bahkan pakai vixion. Mahal udah pasti, kalau nggak lupa, 2 buah wortel kurus harganya 10ribu.
Kalau diceritakan satu-satu bisa sampai series ceritanya haha karena banyak sekali yang kami lalui disana, banyak sekali momen "my first time" ku disana, kaya, bakar ikan, berenang di laut lepas, snorkling, melatih saman anak-anak lokal untuk tampil, nyetir kapal motor punya Acha, mancing di laut, ketemu nemo dan penyu, kulineran makanan khas yang belum pernah ku makan dan masih banyak banget yang lainnya. Paling terbesar adalah momen lebaran jauh dari keluarga karena 2 minggu terakhir puasa kami sudah disana dan berlebaran bersama disana.
Keterbatasan sinyal, air, listrik dan fasilitas-fasilitas yang biasanya kami dapat, bikin kami jadi merasakan hal yang berbeda dan lebih quality time bersama dan berbagi cerita juga dengan anak-anak disana yang selalu datang ke pondokan kami, tanpa hape tanpa social media. Banyak hal-hal aneh bin ajaib yang sebetulnya bodoh tapi ngakak-able. Tiba-tiba ada yang ban bocor pas ke hutan, baling-baling kapal patah pulang dari Teluk Sumbang, lagi bonceng tiga dengan damai tiba-tiba motor oleng parah karena ban pecah sampe salah satu anak yang main ke pondokan lagi becanda tiba-tiba jatoh dan sikunya disposisi. Disana nggak ada rumah sakit, adanya puskesmas pembantu dan sebagian besar penduduknya nggak dokter oriented.
Disana aku juga punya buku ajaib, semacam diary yang isinya daftar kegiatan yang udah dilakukan tiap harinya. Bukunya masih aku simpen sampe sekarang. Pulang darisana ada yang nangis nggak mau ditinggal dan nggak mau ninggalin. Pulang-pulang jadi gosong maksimal, belum ngerti pentingnya sunblock walopun lagi nggak ke laut. Karena kebanyakan fotonya, ini beberapa kenangan kami disana.
.
Setelah selesai, kelompok kami ber 26 orang memutuskan untuk berlibur ke Maratua dan Derawan sebelum kembali ke Jogja. Mungkin nanti next post aku story telling lagi ya hehe.
Padahal udah hampir 2 tahun berlalu, tapi komunikasi kami masih lancar dengan beberapa warga disana terutama anak-anak masih telpon, apalagi si Memet paling rajin.
See you soon, Telsu!
*beberapa foto captured oleh teman-temanku yang rajin mendokumentasikan
Oh ya, berdasarkan pembagian dari total 28 orang, kami berenam tinggal di Teluk Sulaiman, bagian kampung dari Kecamatan Biduk-Biduk yang paling ujung karena letaknya memang terakhir di seluruh kampung yang ada di daratan Biduk-Biduk. Karena nggak ada sinyal sama sekali, penduduk selalu pergi ke dermaga yang mereka sebut "Ujung" karena lokasinya yang berada di paling ujung kampung sekitar 2 kilometer dari pondokan kami. Fungsi dermaga untuk tempat singgah kapal yang berkembang jadi destinasi wisata dan media penyebrangan menuju Teluk Sumbang. Sunset dan sunrise disini juga sama-sama menakjubkan :)
Hampir setiap hari dermaga kami kunjungi untuk sekedar telpon keluarga di rumah atau teman yang sama-sama lagi KKN. Ketika kami berkunjung ke kelompok di kampung lain, terbukti tempat kami dan Teluk Sumbang yang paling parah sinyalnya. Jadi, kami selalu memanfaatkan saat berkunjung untuk nelpon-nelpon, beli paket data yang sehari buat buka internet cari bahan materi program ataupun posting instagram haha. Seringnya diantara kami berenam cari-cari alasan mau ke kampung lain entah koordinasi program, ngerjain bareng sampe mau numpang nyuci karena nggak enak minta air ke tetangga yang sama-sama minimnya. Biasanya satu atau dua orang pergi yang lainnya ikut pergi haha. Pernah suatu hari belum lengkap, rasanya uring-uringan pengennya komplit semua dirumah kalo udah malem. Alat transportasi yang kami gunakan disana adalah 2 motor yang dipinjamkan oleh warga untuk kami berenam. Jadi, bonceng tiga selalu.
Penduduk disana juga menggunakan motor tanpa helm. Biasanya mereka gunakan hanya untuk mengantar anak ke sekolah, pergi ke dermaga ataupun ke kampung lain. Oh ya, jarak antar kampung itu lumayan jauh walaupun naik motor dan jalannya hanya lurus saja tidak ada belokan, karena rumah-rumah disana tidak banyak, polanya berderet sepanjang jalan dan hanya ada satu sampai 3 layer saja itupun tidak rapat. Kondisi jalan udah beraspal tapi masih di beberapa spot yang berlubang.
Uniknya, karena kami selalu bonceng tiga, salah satu dari yang bonceng harus selalu waspada kakinya bisa kena pup sapi. Yes! Disana, warganya punya sapi, karena dapat bantuan ternak dari pemerintah. Namun karena hewan itu hasil pemberian jadi banyak warga yang nggak bikin kandang dan dibirkan berkeliaran di mana aja termasuk di jalanan. Jadi pup dimana aja deh. Tapi hebatnya nggak ada yang hilang, jangankan sapi, kunci motor masih gantung aja tetep aman, sebolong-bolongnya pondokan kita pun damai sentosa padahal banyak barang elektronik kami yang tergeletak dimana aja. Sebagian besar penduduknya cari makan dari laut, ada yang bikin kapal, jual ikan, buka warung dan kerja di kantor kampung jadi PNS. Kalau bahan untuk masak ada yang keliling pakai motor jualan sayur bahkan pakai vixion. Mahal udah pasti, kalau nggak lupa, 2 buah wortel kurus harganya 10ribu.
Kalau diceritakan satu-satu bisa sampai series ceritanya haha karena banyak sekali yang kami lalui disana, banyak sekali momen "my first time" ku disana, kaya, bakar ikan, berenang di laut lepas, snorkling, melatih saman anak-anak lokal untuk tampil, nyetir kapal motor punya Acha, mancing di laut, ketemu nemo dan penyu, kulineran makanan khas yang belum pernah ku makan dan masih banyak banget yang lainnya. Paling terbesar adalah momen lebaran jauh dari keluarga karena 2 minggu terakhir puasa kami sudah disana dan berlebaran bersama disana.
Keterbatasan sinyal, air, listrik dan fasilitas-fasilitas yang biasanya kami dapat, bikin kami jadi merasakan hal yang berbeda dan lebih quality time bersama dan berbagi cerita juga dengan anak-anak disana yang selalu datang ke pondokan kami, tanpa hape tanpa social media. Banyak hal-hal aneh bin ajaib yang sebetulnya bodoh tapi ngakak-able. Tiba-tiba ada yang ban bocor pas ke hutan, baling-baling kapal patah pulang dari Teluk Sumbang, lagi bonceng tiga dengan damai tiba-tiba motor oleng parah karena ban pecah sampe salah satu anak yang main ke pondokan lagi becanda tiba-tiba jatoh dan sikunya disposisi. Disana nggak ada rumah sakit, adanya puskesmas pembantu dan sebagian besar penduduknya nggak dokter oriented.
Disana aku juga punya buku ajaib, semacam diary yang isinya daftar kegiatan yang udah dilakukan tiap harinya. Bukunya masih aku simpen sampe sekarang. Pulang darisana ada yang nangis nggak mau ditinggal dan nggak mau ninggalin. Pulang-pulang jadi gosong maksimal, belum ngerti pentingnya sunblock walopun lagi nggak ke laut. Karena kebanyakan fotonya, ini beberapa kenangan kami disana.
.
Setelah selesai, kelompok kami ber 26 orang memutuskan untuk berlibur ke Maratua dan Derawan sebelum kembali ke Jogja. Mungkin nanti next post aku story telling lagi ya hehe.
Padahal udah hampir 2 tahun berlalu, tapi komunikasi kami masih lancar dengan beberapa warga disana terutama anak-anak masih telpon, apalagi si Memet paling rajin.
See you soon, Telsu!
*beberapa foto captured oleh teman-temanku yang rajin mendokumentasikan